Inews Denpasar- Nama Victor Hugo selalu identik dengan karya sastra monumental. Penulis, penyair, sekaligus tokoh politik ini bukan hanya membentuk wajah kesusastraan Prancis abad ke-19, tetapi juga memengaruhi dunia lewat ide-idenya tentang kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan sosial. Lebih dari satu setengah abad setelah kepergiannya, karya-karya Hugo seperti Les Misérables dan Notre-Dame de Paris (The Hunchback of Notre Dame) tetap menjadi inspirasi lintas generasi.
Awal Kehidupan: Anak Militer yang Gemar Menulis
Victor-Marie Hugo lahir pada 26 Februari 1802 di Besançon, Prancis, dari pasangan Joseph Léopold Sigisbert Hugo dan Sophie Trébuchet. Ayahnya seorang perwira militer di bawah Napoleon, sedangkan ibunya seorang wanita berpendidikan yang menanamkan nilai moral dan kecintaan pada sastra. Sejak kecil Hugo sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menulis. Pada usia 14 tahun, ia memenangkan beberapa lomba puisi di Paris.
Perpindahan kota karena karier sang ayah membuat Hugo mengenal beragam budaya dan lanskap sosial. Pengalaman itu kemudian memperkaya pandangannya tentang dunia dan menjadi sumber inspirasi bagi karyanya yang penuh warna.

Baca Juga : Ford, Dari Model T hingga Mobil Listrik: Perjalanan Panjang Sang Legenda Otomotif
Muncul Sebagai Pelopor Romantisisme
Pada awal kariernya, Hugo menulis puisi dan drama yang menentang gaya klasik Prancis yang kaku. Ia tampil sebagai tokoh penting dalam gerakan Romantisisme, sebuah gerakan yang menekankan ekspresi emosi, kebebasan berkreasi, dan keberpihakan pada kaum tertindas. Karya dramanya Hernani (1830) sempat menimbulkan kontroversi dan menandai titik balik besar sastra Prancis.
Melalui puisi-puisinya, Hugo mengeksplorasi tema cinta, alam, dan spiritualitas. Sementara itu, novel-novelnya membahas isu sosial, politik, dan kemanusiaan yang masih relevan hingga kini.
Dua Karya Paling Mendunia: Notre-Dame de Paris dan Les Misérables
Karya besar pertama Hugo yang mendunia adalah Notre-Dame de Paris (1831). Novel ini bercerita tentang Quasimodo, si bungkuk penjaga lonceng katedral, dan cinta tragisnya kepada Esmeralda. Selain kisah menyentuh, novel ini juga membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan bangunan bersejarah di Prancis.
Karya puncaknya, Les Misérables (1862), lebih dari sekadar novel. Buku setebal ribuan halaman ini menyajikan potret kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan manusia untuk penebusan. Tokoh Jean Valjean, mantan narapidana yang berjuang memperbaiki hidupnya, menjadi simbol harapan dan kemanusiaan. Hingga kini, Les Misérables diadaptasi menjadi film, teater, hingga musikal yang mendunia.
Aktivisme Politik: Dari Senat Hingga Pengasingan
Victor Hugo bukan hanya seorang penulis. Ia juga seorang politisi yang vokal membela kebebasan pers, hak asasi manusia, dan penghapusan hukuman mati. Pandangannya yang progresif membuatnya bentrok dengan rezim Napoleon III.
Akibat kritiknya, Hugo diasingkan ke Pulau Jersey dan Guernsey di Inggris selama hampir 20 tahun. Namun pengasingan itu justru melahirkan karya-karya penting, termasuk Les Misérables. Ia memanfaatkan masa itu untuk menulis, berkampanye, dan mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai negara.
Warisan Abadi
Victor Hugo meninggal dunia pada 22 Mei 1885 di Paris. Pemakamannya menjadi peristiwa nasional; lebih dari dua juta orang menghadiri prosesi penghormatan terakhirnya. Ia dimakamkan di Panthéon, Paris, berdampingan dengan tokoh-tokoh besar Prancis lainnya.
Warisan Hugo tidak hanya berupa karya sastra, tetapi juga gagasan tentang kemanusiaan, kebebasan, dan solidaritas sosial. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, dan institusi di seluruh dunia.
Relevansi Hugo di Masa Kini
Karya Hugo tetap terasa aktual di era modern. Isu kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan hak asasi manusia yang ia suarakan masih menjadi tantangan global. Novel-novelnya mengajarkan empati, harapan, dan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.
Banyak generasi muda mengenal Hugo lewat adaptasi Les Misérables di panggung Broadway atau film Hollywood, lalu tertarik membaca bukunya. Ini membuktikan kekuatan universal sastra yang mampu melintasi zaman dan budaya.
Kesimpulan
Victor Hugo adalah contoh nyata penulis yang karyanya melampaui batas sastra. Ia memadukan seni menulis dengan perjuangan sosial, menjadikannya bukan sekadar sastrawan, tetapi juga suara kemanusiaan. Di usia lebih dari dua abad sejak kelahirannya, Hugo tetap hidup dalam setiap halaman bukunya dan di hati pembacanya di seluruh dunia.
















